Beliau tidak mengetahui ayah dan ibunya. Nasabnya
tidak jelas dan tidak memiliki suku.
Tubuhnya pendek, hitam dan tidak tampan. Beliau juga
termasuk golongan orang yang fakir. Bahkan, pakaian yang
sering beliau pakai adalah pakaian-pakaian yang lusuh. Hampir saja,
keberadaannya tidak pernah diperdulikan oleh masyarakat Yastrib.
Namanya adalah Julaibib. Beliau adalah
salah satu sahabat Rosulullah saw dari golongan Anshor. Sejak beliau masuk
Islam, beliau selalu mendampingi Rosulullah dengan mengambil ilmu, petunjuk dan
akhlak untuk dijadikan bekal di dunia dan di akhirat. Keimanannya menyentuh
relung-relung hati, bulat-utuh demi memperjuangkan Islam sampai titik darah
penghabisan. Bagaimanapun kondisinya dan apapun kendalanya, beliau tetap
memegang teguh keimanannya sampai Allah mencabut ajalnya. Karena itulah, Rosulullah pernah mengungkapkan isi
hatinya kepada para sahabat lainnya. Rosulullah saw bersabda,”Orang ini
(Julaibib) adalah bagian dari diriku dan aku bagian dari dirinya.”
Julaibib
tinggal di Shuffah, Madinah. Keimanannya yang tinggi
menjadikan beliau begitu gemar
beribadah kepada Allah. Beliau berhati lapang dan selalu mensyukuri nikmat
Allah. Sebagai lelaki normal, beliau juga mendambakan pendamping hidup. Hanya
saja, Julaibib tidak ingin melambungkan keinginannya itu terlampau tinggi. Beliau
bukanlah tipikal orang yang
termasuk dalam peribahsa, bagaikan punguk merindukan bulan.
Tidak sulit bagi Rosulullah mencarikan jodoh
sahabat-sahabatnya, termasuk Julaibib, karena orang-orang mukmin Anshar
mempunyai kebiasaan unik, jika mereka memiliki anak perempuan atau anggota
keluarga perempuan yang belum menikah, baik gadis atau janda, mereka akan memberitahukan
kepada Rasulullah. Mereka tidak akan menikahkan anak perempuannya itu dengan
orang lain hingga memberitahukan kepada Rosulullah, apakah beliau ingin
menikahinya atau tidak, atau barangkali ada orang lain yang menjadi pilihan
Rosulullah untuk anak perempuan mereka tersebut.
Suatu hari, Rosulullah berkata kepada salah
satu dari kaum Anshar, “Wahai fulan, aku ingin meminang putrimu”. Orang itu
berkata, “Dengan senang hati, ya Rosulullah”. Beliau melanjutkan,
“Sesungguuhnya aku meminangnya bukan untuk diriku”.
Mendengar jawaban Rosulullah ini, hati orang Anshar
menjadi gusar. Padahal ia sempat membayangkan kebahagiaan akan segera menyinari
rumahnya. Sebuah kemuliaan jika dapat menjalin hubungan kekeluargaan dengan
Rosulullah. Orang Anshor itu lalu bertanya, ”Lantas untuk siapa, ya Rosulullah?”.
Rosulullah menjawab, “Untuk Julaibib”.
Julaibib?. Leburlah hati orang Anshor ini. Ia
tidak menyangka bahwa orang yang akan dinikahkan Rosulullah dengan anak
gadisnya adalah Julaibib. Bagai petir menyambar di siang bolong, hangus sudah
impian indah yang ia titipkan pada anak gadisnya. Namun dengan sangat bijak orang
Anshar itu berkata, “Maaf ya Rosulullah, izinkanlah aku berunding dengan ibunya
dulu”.
Lalu orang Anshar itu secara perlahan-lahan
menghilang dari hadapan Rosulullah, orang Anshar itu pergi mendatangi istrinya.
Setibanya di rumah ia berkata, “Sesungguhnya Rosulullah meminang putri kita”.
Istrinya berkata, “Ya dengan senang hati kami menerimanya”. Suaminya berkata,
“Beliau tidak meminang untuk dirinya sendiri”.
Istrinya penasaran. Ia ingin mengetahui
siapakah orang yang begitu mulia hingga Rosulullah bersedia meminangkannya. “Lalu
untuk siapa, wahai suamiku?”. Dengan bibir sedikit bergetar, suaminya menjawab,
“Untuk Julaibib”. Berubahlah wajah sang istri, ada guratan kekecewaan yang
tergambar jelas dari raut wajahnya. “Julaibib?. Demi Allah tidak!. Aku tidak
akan menikahkan putri kita dengan Julaibib!”. Jawab istrinya sedikit berang.
Dengan kaki sedikit lemas orang Anshor itu
beranjak pergi menemui Rosulullah. Tiba-tiba anak gadis mereka keluar dari
kamarnya. Dia menghampiri kedua orang tuanya dan meminta penjelasan atas apa
yang terjadi. Lalu sang ibu menjelaskan duduk perkaranya. Anak gadisnya
berkata, “Apakah kalian menolak perintah Rosulullah?, bawalah aku kepada
Rosulullah. Aku yakin beliau tidak akan menyia-nyiakanku”.
Tentu
tidak ada pertimbangan lain dari sang gadis kecuali ketaatan dan kecintaan
kepada Rosulullah. Ia meyakini, di balik semua kekurangan pada diri Julaibib,
tentu ia memiliki banyak kelebihan sehingga ia mendapat kedudukan yang mulia di
sisi Rasulullah. Kepercayaan yang tinggi dari gadis ini terhadap Rosulullah
menjadikan ia mampu menghapus segala “atribut duniawi” yang melekat pada diri
Julaibib waktu itu.
Mendengar
jawaban anak gadisnya. Kedua orang tuanya bertekuk lutut. Mereka pasrah dengan
keputusan anak gadisnya. Lalu sahabat Anshar tersebut kembali kepada Rosulullah
saw, seraya berkata, "Ya Rasulullah, engkau lebih berhak atas urusan anak
gadisku. Nikahkanlah dia dengan Julaibib”.
Rosulullah
yang menikahkan mereka berdua. Rosulullah juga berdo’a kepada Julaibib, “Ya
Allah, tumpahkan kebaikan yang banyak kepadanya dan jangan engkau jadikan
kehidupannya susah”.
***
Dari dahulu sampai sekarang, faktor
ekonomi selalu menjadi faktor terberat dalam sebuah peminangan. Laki-laki
biasanya tidak berani meminang perempuan pujaannya dikarenakan ia belum
mempunyai pekerjaan, belum mapan, belum punya mobil, belum punya rumah dan lain
sebagainya. Laki-laki dibayang-bayangi ketakutan bahwa mencari nafkah untuk
diri sendiri saja sulit, apalagi ditambah menafkahi orang lain. Mereka tidak
sanggup menjalani kehidupan yang keras bersama orang lain dalam ketidakpastian
ekonomi.
Bayang-bayang ketakutan itu terus
bertambah ketika media massa dan media elektonik kerap memberitakan berbagai
kekacauan rumah tangga yang disebabkan faktor ekonomi. Perceraian,
perselingkuhan, aborsi, hingga kematian dalam keluarga sering dikait-kaitkan
dengan cacatnya ekonomi sebagai penyebabnya.
Faktor
lain yang membuat lelaki enggan meminang perempuan adalah karena para orang tua
memandang sebelah mata kepada laki-laki yang belum berpenghasilan atau yang
belum mapan. Para orang tua terkadang lebih bahagia melihat anak gadisnya
meniti karier atau menempuh studi yang lebih tinggi ketimbang menikahkan anak
gadisnya dengan laki-laki miskin.
Akibatnya,
Pacaran menjadi trend para remaja zaman sekarang. Mereka lebih senang
bergonta-ganti pacar ketimbang setia pada satu wanita dalam ikatan pernikahan.
Pacaran dianggap sebagai alteratif paling aman. Tangggung jawab terhadap pacar
relatif lebih ringan ketimbang tanggung jawab terhadap istri. Pacaran juga
tidak membutuhkan proses yang rumit ketika hendak menjalin atau mengakhiri
hubungan percintaan. Sangat berbeda dengan pernikahan yang melewati proses
berliku-liku pada instansi resmi yang menangani hal tersebut.
Semua
bentuk keruwetan ini, dikarenakan tipisnya keyakinan terhadap Allah dan
rendahnya rasa percaya terhadap diri sendiri. Kedua hal ini mempunyai
keterkaitan yang erat. Iman itu mekarnya dalam jiwa, begitu pula dengan rasa
percaya diri. Iman yang bagus, berimbas pada rasa percaya diri yang bagus pula.
Keimanan dan rasa percaya diri-lah yang akan menjadi penerang bagi seseorang
dalam memilih dan memilah calon pasangan hidup dan calon mertua yang
berkualitas.
Kisah
pernikahan Julaibib dengan gadis pilihan Rosulullah, sama-sama dilandasi oleh
keimanan yang tinggi. Julaibib gemar beribadah kepada Allah dan beliau juga
sangat mencintai Rosulullah. Inilah yang membuat Julaibib mulia disi Allah dan
mulia disisi Rosulullah. meskipun Julaibib fakir, bernasab tidak jelas dan tidak
tampan, tetapi Julaibib berhasil menikah dengan salah satu gadis terhormat dari
kalangan Anshor. Keberhasilan Julaibib ini disebabkan oleh tiga faktor:
1- Julaibib mempunyai keimanan yang
tinggi.
2- Julaibib dipinangkan oleh
Rosulullah.
3- Gadis yang dipinangkan Rosulullah untuk
Julaibib adalah gadis yang Sholehah.
Oleh
karena itu, apabila ada pemuda ingin sukses dalam meminang perempuan, maka dia
harus memperkuat keimanan dan memperbanyak ibadah karena Allah. Jika ia malu
meminangnya sendiri, maka dia boleh menggunakan jasa seorang tokoh yang alim
dan terhormat. Dia juga harus bisa memastikan bahwa perempuan yang akan
dipinangnya adalah wanita mukmin yang sholehah.
Laki-laki
mukmin yang baik tentu mendambakan perempuan mukmin yang baik pula. Dan tokoh
yang alim dan terhormat tentu akan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya, jika
ada lelaki mukmin meminta tolong kepadanya untuk dicarikan pendamping hidup, maka
dia akan mencari perempuan sholehah. Hal itu dikarenakan mereka berada pada satu
getar hati yang sama, yaitu getar hati yang dilandasi oleh keimanan kepada
Allah SWT.
Lagi
pula, logika ‘mapan dulu baru nikah’ adalah logika yang tidak sepenuhnya bisa
diterima. Coba bayangkan jika logika seperti ini dianut oleh sebagian besar masyarakat
di Indonesia— yang penduduk miskinnya mencapai 10,96
persen—bukankah hanya akan menyengsarakan
para pemuda, atau menyengsarakan para orang tua yang menginginkan putrinya
segera menikah?. Ketakutan berlebihan terhadap kemiskinan adalah tipu daya
setan dalam menjerumuskan manusia. Menikah adalah salah satu jalan menolak
kemiskinan. Dengan menikah, Allah menjamin hidup seseorang menjadi
berkecukupan.
Allah
SWT berfirman dalam surat An-Nur ayat 32,
“Dan
nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) diantara kalian,
begitu pula orang-orang yang saleh dari kalangan budak perempuan kalian. Bila
mereka dalam keadaan fakir, maka Allah akan mencukupkan mereka berdasarkan
kebijaksanaan-Nya”.
Kalau
sudut pandang tertuju pada harta, maka hati mudah goyah. Sedangkan jika sudut
pandangnya adalah Allah yang Maha kaya dan Maha Bijaksana, maka hati akan
membaja. Orang yang takut menikah dengan alasan khawatir tidak bisa menanggung
kebutuhan hidup berumah tangga, berarti ia telah meragukan firman Allah SWT.
Bukankah meragukan firman Allah berakibat pada terhalangnya petunjuk?. Bukankah
Allah adalah Dzat yang paling menepati janji?. Buang segala keraguan. Yakinlah
bahwa menikah adalah sebab hidup kita berkecukupan.
Ilmuwan
bernama Jay Zagorsky dari Ohio State University, pernah melakukan sebuah
penelitian antara tahun 1985 hingga 2000 dengan melibatkan 9000 orang. Hasilnya
sungguh mencengangkan, ternyata pernikahan
membuat seseorang lebih kaya. Setiap orang yang telah menikah, rata-rata
kekayaannya meningkat dua kali lipat.
Hal ini pula
yang dialami oleh istri Julaibib. Kekayaannya meningkat berkali-kali lipat dan
menjadikannya sebagai wanita Anshor terkaya kala itu. Dia dikaruniai Allah rezeki
yang melimpah ruah dan ia tergolong hamba Allah yang bersyukur. Tsabit berkata,
“Tidak ada wanita Anshar yang lebih banyak rezekinya dan lebih banyak infaknya
selain wanita yang telah dinikahkan dengan Julaibib”.
Karena
keimanan dan kearifan pula, Julaibib diangkat derajatnya oleh Allah dengan
menjadi suami wanita terhormat Anshor. Tidak lama setelah pernikahannya itu,
Julaibib gugur sebagai syuhada’ dalam sebuah pertempuran bersama Rosulullah. Dia
wafat diantara tujuh orang kafir yang telah dibunuhnya. Rosulullah yang
membopong mayat Julaibib, kemudian Rosulullah menggali lubang untuknya,
Rosulullah pula yang meletakkan mayat Julaibib ke dalam liang lahat. Ya. Allah
SWT benar-benar telah mengangkat derajat Julaibib di dunia dan di akhirat.
"Wahai permata hatiku...., Jika saat itu telah tiba, izinkanlah aku meminangmu demi Dzat yang Maha Kaya, takkan ada ragu dan resah bersamamu menikmati surga-surga"
"Wahai permata hatiku...., Jika saat itu telah tiba, izinkanlah aku meminangmu demi Dzat yang Maha Kaya, takkan ada ragu dan resah bersamamu menikmati surga-surga"